Hari ini akhirnya datang juga.
Aku melirik jendela. Cerah tapi sejuk, jenis cuaca yang selalu kau suka. Dua belas Juni. Tanggal yang kau suka karena katamu, perpaduan tanggal lahir kita dan jika dibagi, hasilnya dua; menggambarkan masing-masing dari kita.
Cara pikirmu selalu tak biasa. Tapi harus kuakui, aku selalu suka.

Sudah kusiapkan pakaian dan sepatu terbaikku sejak kemarin malam.
Jas abu gelap yang kau pilihkan untukku waktu itu.
Sepatu hitam yang kau bilang membuatku tampak lebih berwibawa–entah apa hubungannya.

Juga sudah kusiapkan buket bunga kesayanganmu. Lili putih dengan sedikit daun segar tersisa di batangnya.
Aku ingat hari itu kau memaksa membeli seikat lili putih dari seorang bapak yang menunggui toko bunga yang sudah sepi. Katamu kasihan, mungkin sudah lama tak ada yang membeli.
Kamu berkata kamu menyukai semua jenis bunga, tapi lili putih adalah favoritmu. Alasannya sederhana, mengingatkan pada tokoh di film kesukaanmu.
Lagi-lagi, cara pikirmu tak biasa, tapi aku tak pernah keberatan.

Sepanjang jalan menuju tempatmu, aku melewati taman kota tempat kita pertama berjalan berdua. Hari itu sudah malam sehabis hujan. Cuacanya sejuk dengan sedikit angin. Kita banyak bercerita sambil mengenal satu sama lain. Aku tahu kau tak ingin waktu segera berakhir, sebab aku juga sama. Kita duduk di bangku taman yang sedikit lembab. Saling terkejut dengan kesamaan yang kita punya. Aku yang selalu saja takjub dengan ceritamu, dengan matamu yang bersinar saat menceritakan yang kau suka, dengan tanganmu yang seolah tak mau kalah menggambarkan yang sedang kau ceritakan.

Mobilku melewati cafe kesukaanmu. Bangunan kecil dengan sedikit kursi. Kau selalu suka menghabiskan waktu di sana. Favoritmu, bangku kecil dekat jendela. Bisa berjam-jam kau habiskan ditemani segelas matcha latte dingin. Kau senang memperhatikan orang-orang, membayangkan apa yang mungkin mereka pikirkan, dan kau pernah berkata, kehadiranku membuat waktu sendirimu di sana lebih menyenangkan.

Sedikit lagi aku sampai.
Aku memarkir mobil di depan rumah sederhana berwarna putih. Bugenvil ungu kesayanganmu menyambutku. Tiga tahun bersamamu, tak pernah terlewat kau menyiraminya setiap sore. Kau bilang kau selalu menyukai mereka karena mereka punya andil besar dalam menyerap udara kotor di sekitar rumah.
Kau dan wawasan luasmu yang ada-ada saja, yang selalu membuatku terpana.

Matamu menangkap hadirku tepat saat aku memasuki ruang tamu. Kau hanya tersenyum dan berjalan menuju halaman belakang rumahmu. Aku mengangguk pelan, menaruh buket lili di salah satu meja bundar kosong dan melangkah keluar.

Kau selalu ingin mengenakan kebaya putih di hari bahagiamu. Tanpa riasan yang berlebihan karena senyummu sudah lebih dari segala pulasan.

Kau tampak cantik hari ini, seperti biasanya, seperti hari-hari sebelumnya.

Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya satu: membawa buket lili untukmu.

Maaf aku terlambat dan membiarkanmu pergi demi orang yang lebih berani.

Selamat menikah, sayang.

Leave a comment